ARTICLE AD BOX
Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
TAHUN 2024 baru saja lewat. Sebuah tahun yang ditandai dengan kerentanan persatuan global seiring merebaknya fragmentasi ekonomi spasial disertai meningkatnya ketegangan geopolitik. Semua itu telah membuat dunia dalam keadaan optimisme yang berhati-hati.
Beberapa agenda global, misalnya Olimpiade Paris 2024, mampu memberikan momen kebersamaan sesaat di antara berbagai negara di tengah latar belakang konflik yang terus berlangsung, di antaranya perang Israel-Palestina yang meningkat ke Lebanon dan perang yang berkelanjutan di Ukraina.
Pergolakan politik memicu ketidakpastian menyusul penyelenggaraan pemilihan umum di 70 negara di dunia pada 2024 lalu, dan sebagian lagi berlanjut di 2025 ini. Ada sejumlah pimpinan nasional petahana melanjutkan pekerjaannya. Sebagian lagi muncul pimpinan nasional baru. Pergeseran politik, di samping kerapuhan ekonomi pascainflasi tinggi, tidak diragukan lagi telah memengaruhi sentimen publik.
Terlepas dari tantangan ini, ekonomi global menunjukkan tanda-tanda stabilisasi pertamanya dalam tiga tahun terakhir, dengan kawasan Asia Selatan mengalami pertumbuhan sangat kuat. Perkembangan teknologi, terutama terkait dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) menawarkan sebongkah harapan. Sementara, bencana alam, seperti gempa bumi, banjir besar, dan kebakaran hutan yang meluas, menjadi pengingat nyata akan krisis iklim yang sedang berlangsung.
Di tengah lanskap global yang kompleks, sentimen publik mencerminkan harapan yang hati-hati untuk 2025 ini. Perekonomian di sebagian zona Asia mampu tumbuh mengesankan, dimotori oleh India (7 persen), Indonesia (5 persen), Filipina (7 persen), dan Vietnam (7 persen). Di lain pihak, negara-negara di zona Amerika Latin terus berjuang menaikkan pertumbuhan ekonominya, terutama Argentina (minus 3 persen) dan Meksiko (1,5 persen).
Di zona Eropa, satu negara dengan skala perekonomian terbesar, yakni Jerman, juga terus berjuang bangkit dari keterpurukan (tumbuh 0 persen) ditandai kemerosotan sektor manufaktur dan otomotif. Di Benua Afrika, negara terbesar dalam ekonomi, yakni Afrika Selatan (tumbuh 1,1 persen), juga terus berjaung untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya.
Negara dengan ukuran ekonomi terbesar di Asia, yakni Tiongkok, menjadi sorotan dunia. Sebab, perekonomiannya terus melemah (tumbuh 4,5 persen) dengan perkiraan ke depan terus tumbuh melandai sebagai akibat dari kesalahan mutlak dalam pengambilan kebijakan total lockdown pada periode 2020-2022 lalu yang menjadikan negara eksportir terbesar di dunia ini terisolasi dari pentas global.
Melihat ke Arah 2025
Kini, optimisme global untuk 2025 menunjukkan tren positif di beberapa bidang utama. Mayoritas pengambil kebijakan negara-negara di dunia percaya bahwa 2025 akan menjadi tahun yang lebih baik daripada 2024. Secara historis, level optimisme berfluktuasi antara 75 persen dan 80 persen selama dekade terakhir, menunjukkan potensi pemulihan ke tingkat yang lebih tinggi ini.
Optimisme ekonomi mengalami kenaikan moderat di zona Eropa. Di Amerika Serikat (AS), optimisme melonjak tinggi pascakemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS hasil pemilihan umum presiden pada 5 November 2024 lalu. “Make America Great Again” dan/atau “America First” menjadi spirit baru percepatan pemulihan ekonomi AS setelah didera inflasi tinggi (berkisar 6 persen-9 persen) pada periode 2021-2023 yang memaksa The Fed mengerek suku bunga acuan hingga level 6 persen.
Pasar negara berkembang, seperti India, Tiongkok, Indonesia, dan Thailand, terus menyatakan keyakinan yang kuat terhadap prospek ekonomi global mereka, mencerminkan pertumbuhan mereka yang diproyeksikan lebih kuat dibandingkan dengan 2024. Fokus pada perbaikan diri menjadi respons mereka terhadap tantangan dan ketidakpastian beberapa tahun terakhir, termasuk pandemi COVID-19 dan ketidakstabilan global yang masih berlangsung.
Dalam konteks penguatan ekonomi di 2025, publik Indonesia dan Tiongkok memiliki tingkat optimisme tinggi, meskipun mereka menyadari bahwa ada tantangan-tantangan yang tidak ringan yang mesti dihadapi. Sebaliknya, publik Jepang memiliki tingkat optimisme yang rendah karena negara ini sudah terlalu dewasa sehingga pertumbuhan sebesar 1 persen-2 persen pun dinilai sudah bagus sekali.
Secara global, prospek ekonomi tetap relatif tidak berubah pada sebagian besar ukuran negara untuk 2025 dibandingkan dengan tahun lalu. Kekhawatiran tetap ada dengan mayoritas mengantisipasi kenaikan harga, pajak, dan pengangguran di berbagai negara. Secara global pun inflasi diperkirakan akan sedikit lebih tinggi pada 2025 daripada pada 2024 sebagai refleksi kebangkitan ekonomi. Argentina dan Turki terus berpacu menurunkan laju inflasi secara ekstrem menuju level single digit sebagai modal mendorong pemulihan ekonomi mereka.
Sekiranya arah inflasi di 2025 sedikit meningkat, maka ekspektasi suku bunga acuan global akan sedikit lebih tinggi sehingga masih akomodatif untuk memacu laju perekonomian. Secara umum, sektor teknologi (terkait dengan digitalisasi dan kecerdasan buatan), manufaktur dan pertambangan ramah lingkungan, serta keuangan akan melanjutkan peran kontributifnya bagi perekonomian global.
Kilas Balik Indonesia 2024
Perekonomian Indonesia di 2024 lalu boleh dikatakan stabil (konotasi positif) atau stagnan (konotasi negatif), karena prognosis mengindikasikan pertumbuhan hanya sekitar 5%. Fokus kebijakan ekonomi pada penguatan sektor fiskal dan investasi menjadi kunci utama keberhasilan kestabilan ekonomi Indonesia.
Indonesia tercatat berhasil meningkatkan produk domestik bruto (PDB) empat kali lipat menjadi US$1,4 triliun selama dua dekade terakhir, yang membuktikan transformasi dan ketahanan ekonomi yang kuat di tengah berbagai tantangan ekonomi global.
Dari laman Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), terekspose bahwa tingkat kemiskinan mengalami penurunan sepuluh kali lipat, dari sebelumnya lebih dari 20 persen penduduk hidup dengan penghasilan kurang dari USD2,15 per hari menjadi kurang dari 2 persen.
Pertumbuhan PDB yang berada di level 5 persen dengan inflasi terkendali berkisar 2,0 persen – 2,2 persen menjadi bukti strategi pengelolaan ekonomi yang terintegrasi dan efektif dari perspektif bauran kebijakan (fiskal, moneter, dan keuangan).
Perkiraan pertumbuhan ekonomi yang akan stabil di 5,1 persen pada periode 2024-2029, menurut IMF, memberikan optimisme dan kewaspadaan pada penguatan ekonomi domestik melalui penjagaan daya saing dan investasi langsung yang berkelanjutan.
Persiapan Indonesia Mengarungi 2025
IMF pun memberikan apresiasi kepada pengambil kebijakan ekonomi di Indonesia bahwa ketika dunia sedang terpuruk dalam krisis, negara ini mampu memanfaatkan krisis untuk mendorong reformasi lebih lanjut.
Memasuki 2025 yang penuh peluang dan tantangan, para pengambil kebijakan dituntut mampu meramu kebijakan yang efektif dan kontributif bagi perekonomian nasional. Perubahan lanskap ekonomi global terus terjadi dan semakin cepat pascapandemi COVID-19, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, dinamika geopolitik, dan transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
Digitalisasi mempercepat transformasi di berbagai sektor, menciptakan peluang baru namun juga berpotensi memperlebar kesenjangan dalam aksesibilitas. Ketegangan geopolitik mendorong diversifikasi rantai pasok global dan regional. Sementara itu, perubahan iklim mendorong investasi besar dalam energi hijau sekaligus menuntut implementasi kebijakan yang lebih cepat untuk dapat mengikuti masifnya perubahan global.
Dalam konteks ini, fleksibilitas dan inovasi di sektor manufaktur atau industri menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang di tengah ketidakpastian global. Dengan sifat padat modal dan padat karya, sektor industri diharapkan mampu menghela kinerja ekonomi Indonesia yang lebih baik, pertumbuhan tinggi, lapangan kerja tercipta, kualitas hidup membaik, dan pemerataan atau distribusi aset pun membaik untuk mempersempit kesenjangan.
Indonesia memiliki banyak potensi strategis yang dapat dimanfaatkan untuk merespons dan memanfaatkan perubahan ini dengan baik. Indonesia memiliki letak geografis yang strategis dan didukung oleh kekayaan sumber daya alam serta struktur demografi yang relatif muda.
Maka, berbagai strategi perlu diupayakan untuk dapat memanfaatkan perubahan lanskap ekonomi global dengan meningkatkan penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan yang lebih tinggi, lebih merata baik secara spasial maupun secara inklusif di tiap tingkatan pendapatan.
Sesuai dengan Asta Cita, pemerintahan baru memiliki beberapa agenda prioritas di beberapa bidang pembangunan, yakni ketahanan pangan dan energi, pengembangan sumber daya manusia, reformasi kelembagaan, serta kebijakan industri dan hilirisasi.
Ketahanan pangan dan energi menjadi prioritas penting bagi Indonesia sebagai solusi jitu di tengah ancaman krisis iklim global. Paralel dengan itu, strategi intensifikasi dan ekstensifikasi di sektor pertanian dalam arti luas harus terus diperkuat untuk memastikan ketahanan pangan mampu terus berproduksi dengan kualitas yang baik.
Produksi pangan yang kuat diprioritaskan untuk dapat memenuhi konsumsi domestik. Sekiranya terjadi surplus pangan, bisa diekspor untuk menopang konsumsi global seraya menghasilkan devisa bagi ketahanan ekonomi negara.
Dengan komitmen pada Kesepakatan Paris, ditandai dengan tujuan ke Net Zero Emmission pada 2060 (konon dipercepat ke 2050), maka di sektor energi harus dilakukan periode transisi energi yang tepat dan terarah. Pengembangan distribusi dan transmisi energi serta pengelolaan bauran energi yang berimbang antara energi terbarukan dan nonterbarukan harus terus diupayakan.
Kesadaran pada aktivitas ekonomi, keuangan, dan investasi yang berkelanjutan mutlak menjadi acuan bagi setiap pengambil kebijakan dan para pelaku usaha. Sebagian besar negara di dunia telah memiliki komitmen untuk menerapkan strategi industrialisasi berbasis prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Para pengambil kebijakan dan pebisnis di Indonesia pun harus memiliki komitmen yang kuat untuk menerapkan prinsip ESG tersebut.
Strategi mendorong industrialisasi harus diselaraskan dengan tujuan untuk mencapai visi Indonesia menjadi negara maju, dengan memastikan terbukanya akses seluas-luasnya pembangunan kepada masyarakat sebagai subjek. Bonus demografi yang dimiliki harus dapat dikelola dan dioptimalkan, yang menjadi penopang mesin pertumbuhan yang berkesinambungan dan inklusif.
Kebijakan hilirisasi industri juga harus terus diperkuat. Bahkan, tidak hanya di sektor pertambangan sebagaimana telah berjalan selama ini, namun juga ke sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama sektor pertanian dalam arti luas (konon akan diperluas pada 25 komoditas unggulan).
Hilirisasi sektor pertanian diharapkan tidak hanya mampu memperkuat industri domestik dan ketahanan pangan dengan kualias tinggi, namun juga menjadi solusi penurunan ekstrem terhadap ketergantungan impor bahan baku pangan berbasis pertanian. Di sini akan terjadi penghematan devisa yang besar sehingga mampu menopang cadangan devisa sebagai benteng pertahanan kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk bisa menopang pergerakan roda perekonomian di negara kepulauan seperti Indonesia, maka pembangunan infrastruktur fisik menjadi penting dan strategis untuk tetap dilanjutkan. Strateginya adalah membangun infrastruktur (sarana dan prasarana) yang ditujukan untuk mendukung aktivitas ekonomi, meliputi aspek digitalisasi, logistik dan konektivitas, akselerasi mobilitas orang dan barang, yang kesemuanya akan mendorong pencapaian tingkat efisiensi ekonomi yang optimal.
Pengembangan dan penguatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) pun menjadi vital untuk dikerjakan, terutama untuk membangun talenta-talenta digital yang mumpuni yang kelak akan mengisi banyak posisi strategis di berbagai institusi pemerintah dan nonpemerintah (business entity).
Setting di atas – jika berjalan mulus – diharapkan mampu mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0 persen – 5,2 persen di 2025 dengan ekspektasi inflasi terkendali berkisar 2,5 persen.
Hanya saja, tetap dibutuhkan kewaspadaan dan kepekaan yang tinggi dari para pengambil kebijakan dan pelaku bisnis mengingat berbagai risiko internal (terkait risiko instabilitas sosial politik domestik) dan eksternal (terkait risiko geopolitik, fragmentasi ekonomi, dan perubahan iklim) kemungkinan besar akan membayangi perjalanan ekonomi Indonesia. (*)
The post Indonesia Mengarungi 2025 yang Penuh Peluang dan Tantangan appeared first on Infobanknews.