Warning: session_start(): open(/home/kabarterbaruid/public_html/src/var/sessions/sess_6e2468185a5c686242d593c3dfbab768, O_RDWR) failed: No space left on device (28) in /home/kabarterbaruid/public_html/src/bootstrap.php on line 59

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /home/kabarterbaruid/public_html/src/var/sessions) in /home/kabarterbaruid/public_html/src/bootstrap.php on line 59
Wahai Bankir! Aturan Hapus Tagih Kredit Macet Tak Menghilangkan Pasal “Karet” Kerugian Negara - kabarterbaruid

Wahai Bankir! Aturan Hapus Tagih Kredit Macet Tak Menghilangkan Pasal “Karet” Kerugian Negara

1 month ago 11
ARTICLE AD BOX

Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

KREDIT “mangkrak” atawa kredit macet usaha kecil bisa dihapuskan. Presiden Prabowo Subianto sudah meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang hapus tagih kredit macet. Jadi, debitur-debitur kelas Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang macet, bisa gratis. Lunas, tanpa mengangsur lagi. Tentu tidak sembarang UMKM, tapi debitur dari kelompok petani dan nelayan.

Semua ini dilakukan pemerintah untuk menghidupkan kembali “kematian perdata” para debitur, atawa tak lagi masuk SLIK-OJK. Dan, tentunya bank-bank pelat merah bisa membiayai kembali. Tapi, apakah PP pemutihan uang UMKM merupakan  inti dari persoalan utama dari mangkraknya kredit macet di bank-bank milik Negara?

Jujur. Para bankir tak berani menghapus tagih kredit macet, meski sudah puluhan tahun. Itu karena pasal karet tentang kerugian Negara. Para bankir tidak berani, dan cenderung menghindar dan cari aman. Sebab, pasal “hantu” yang menakutkan masih ada. Pasal karet itu selalu menghantui dan menjadi senjata aparat penegak hukum.

Selama puluhan tahun, pasal karet merugikan Negara menjadi “hantu” yang terus ada. Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) menjadi “hantu” paling menakutkan karena dibekali oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang masih menyebut hapus tagih termasuk merugikan Negara. Lebih jauh lagi Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara.

Jadi, meski  ada PP 33/2006 yang menegaskan bahwa piutang BUMN bukan tergolonng piutang Negara, para bankir tetap tak berani. Jadi, PP itu tetap saja menjadi mandul. Kedudukan PP masih lebih rendah dari UU. Apalagi, pasal-pasal karet  masih menyebutkan penghapusan piutang Negara (kredit) merupakann kerugian negara, atawa korupsi. Wajar saja, para bankir takut melakukan karena bisa saja 10 tahun yang akan datang dengan rezim baru bisa diperkarakan.

Persoalan utama tidak bisa dihapuskan kredit mangkrak ini sesungguhnya karena ada pasal karet merugikan negara. Jadi, bukan hanya memberi keringanan kepada debitur yang sudah jadi batu dan sulit ditagih. Hapus tagih sesungguhnya adalah domain dari direksi yang diusulkan kepada pemilik. Di bank swasta ini mekanisme sederhana dalam penyelesaikan kredit.

Hapus tagih adalah tindakan menghapus kewajiban debitur atas kredit yang tidak dapat diselesaikan dengan menghapus hak tagih. Sedangkan, hapus buku adalah tindakan administrasi untuk menghapus kredit yang memiliki kualitas macet dari neraca (on-balance sheet) ke rekening administrasi (off-balance sheet) sebesar kewajiban debitur, tanpa menghapus hak tagih.

Menurut Infobank Institute, kebijakan hapus tagih ke bank-bank BUMN paling tidak dilandasi lima hal penting. Satu, jumlah debitur kelas ultra mikro, mikro dan kecil yang sudah “mangkrak” makin tahun makin banyak. Menurut pemerintah akan mencakup 6 juta debitur yang terdiri dari petani dan nelayan dengan nilai  Rp8,7 triliun.

Dua, pembersihan debitur “makrak” ini dapat menghidupkan kembali nama baik debitur. Semula masuk kategori black list di SLIK, dengan hapus tagih ini, debitur akan kembali pulih namanya. Debitur kembali mendapat kredit baru lagi karena namanya sudah diputihkan.

Tiga, laporan keuangan bank, baik on-balance sheet maupun off-balance sheet juga bersih dan tidak disibukan dengan bad loan yang “mangkrak” – yang bisa jadi biaya penagihan lebih besar dari hasilnya. Urusan debitur mangkrak bukan soal biaya tapi juga menyangkut sumber daya manusia.

Empat, banyak kasus biaya untuk menagih seringkali lebih besar dari hasil kredit yang sudah menjadi hapus buku itu. Misalnya, pinjamannya tinggal Rp1.000.000, tapi biaya untuk menagih lebih dari itu, selain juga berlarut-larut. Akhirnya, kredit dibiarkan “mangkrak”

Lima, bank-bank pelat merah yang habis melakukan hapus tagih bisa lebih mudah memberikan kredit baru kepada debitur hasil program hapus tagih. Apalagi, peningkatan pertumbuhan nasabah UMKM tak sebanding peningkatan volume Kredit Usaha Kecil (KUR), dan tentu ketentuan 30 persen kredit ke sektor UMKM.

Kabar pemutihan tentu menjadi kabar menggembirakan bagi bank-bank BUMN yang selama ini tak berani melakukan hapus tagih, karena dinilai merugikan Negara. Meski kredit itu sudah menjadi “sampah” di buku bank. Ada peluang lebih besar bagi debitur dan bank-bank pelat merah.

Hapus tagih ini bisa dilakukan jika kerugian yang terjadi bukan merupakan kerugian Negara. Bukan hasil pat gulipat atau kredit fiktif. Semua itu bisa dilakukan  sepanjang dapat dibuktikan tindakan berdasarkan itikad baik, peraturan perundangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Langkah hapus tagih ini baik, namun yang terus dijaga menyangkut moral hazard. Jangan sampai juga setelah hapus tagih bank-bank dengan membabi buta dalam pemberian kredit, karena toh bisa dihapuskan dan dihapus tagih. Prinsip hati-hati juga tetap dipegang dan menjadi “roh” bagi bankir karena bank-bank pelat merah masih banyak melakukan write-off meski sudah dicadangkan. Kalkulasi risiko menjadi penting.

Dan, jangan sampai berita baik aturan penghapusan kredit macet ini merusak mental dari debitur debitur yang memiliki kredit untuk memacetkan diri. Hal ini wajar saja karena konsep perbankan di dunia. Perlakuan debitur macet lebih ringan dari pada debitur baik yang lancar. Debitur baik yang selama ini membayar bunga dan pokok seringkali harus merasa iri terhadap debitur macet yang diberi banyak kemudahan.

Sejatinya praktik hapus tagih ini udah dilakukan oleh bank swasta. Namun terkadang hapus buku di bank swasta sering di cessie-kan ke pihak ketiga, bahkan debitur sudah meninggal pun masih didatangi oleh debt collector untuk kredit konsumsi. Tapi, praktik hapus tagih di bank-bank swasta sudah lazim, tak ada tuduhan merugikan Negara.

Pemerintah meneken Peraturan Pemerintah (PP)  Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tentang penghapusan kredit macet dan hapus tagih. Itu mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam Pasal 250 dan 251 disebutkan, piutang macet bank dan atau lembaga keuangan nonbank BUMN kepada UMKM dapat dihapusbukukan dan dihapustagihkan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM

Bertahun-tahun bank pelat merah sulit melakukan hapus tagih. Hapus tagih terkait erat dengan pasal kerugian Negara. Jadi, meski sudah dihapus buku, diberi cadangan, tapi tidak berani melakukan hapus tagih, karena dapat mengundang aparat penegak hukum, seperti Kajaksaan yang tentu dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jadi, selama ini, para bankir membiarkan  kredit macet tetap ‘mangkrak”, meski sudah dicatat di luar buku bank. Tidak masalah bagi bank, namun karena setiap bank mau membiayai kredit masih sering ketemu debitur yang masih masuk blacklist OJK (SLIK-OJK).

Jika demikian, maka hapus tagih ini sesuatu yang baik. Namun pertanyaan mendasar, apakah setelah aturan (PP) hapus tagih ini terbit, para bankir pelat merah berani menghapuskan tagih kredit mecet ini. Sebab, pasal-pasal dalam Undang-Undang Keuangan Negara masih berlum dicabut. Nah, karena UU Keuangan Negara masih berlaku, maka di masa-masa mendatang bisa menjerat para bankir yang melakukan hapus tagih. Pasal merugikan Negara akan hidup lagi.

Apalagi, misalnya 5 atau 10 tahun lagi pemerintahan sudah ganti. Plus anggota BPK yang merupakan “gerombolan” orang partai. Politik sandera dengan tuduhan merugikan Negara sudah jamak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Bukankah kedudukan PP lebih rendah dari UU sendiri, meski PP ini menerjemahkan UU P2SK. Bisa saja aparat penegak hukum bisa “main-main” dari pasar karet — merugikan Negara tetap menjadi “hantu” yang terus ada. 

BPK menjadi “hantu” paling menakutkan karena dibekali oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang masih menyebut hapus tagih termasuk merugikan Negara. Lebih jauh lagi Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara. Dua hantu itu sampai sekarang masih bergentayangan yang menakutkan para bankir bank BUMN.

Pertanyaannya; apakah kedudukan PP pemutihan kredit macet ini “sakti” dan memberi doping kepada para bankir pelat merah, dan tidak akan ada bahaya setelah rezim tak berkuasa? Hati-hati melakukan hapus tagih ke UMKM ini, meski baik dan lazim dalam praktik perbankan, tetap saja dengan kriteria yang jelas.

Jangan ada penumpang gelap dalam aturan hapus tagih ini, dan semoga para bankir tidak takut lagi dan tetap aman dari pasal karet tentang merugikan Negara. (*)

The post Wahai Bankir! Aturan Hapus Tagih Kredit Macet Tak Menghilangkan Pasal “Karet” Kerugian Negara appeared first on Infobanknews.

Read Entire Article