ARTICLE AD BOX
Jakarta – Erick Thohir kembali menduduki kursi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Dalam struktur Kabinet Merah Putih, Erick dibantu tiga wakil menteri (wamen), yakni Kartika Wirjoatmodjo, Dony Oskaria, dan Aminuddin Ma’ruf. Erick menegaskan akan melanjutkan transformasi di BUMN.
Kementerian BUMN akan fokus menuntaskan restrukturisasi. Dua BUMN yang menjadi fokus restrukturisasi adalah Waskita Karya (WSKT) dan Kimia Farma (KAEF). Penyehatan keuangan keduanya belum tuntas hingga akhir pemerintahan Joko Widodo.
Perusahaan pelat merah juga akan mendukung realisasi program prioritas Prabowo-Gibran, termasuk ambisi mewujudkan target swasembada pangan dan pengembangan energi terbarukan. Kolaborasi dengan swasta dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun akan diperkuat. Apalagi, transformasi dan konsolidasi BUMN akan terus dilanjutkan.
Nantinya, Erick menargetkan jumlah BUMN cukup 30 perusahaan. Program bersih-bersih ala Erick pun akan terus dilakukan. “Yang penting, waktu dilantik itu ada amanah yang dititipkan loyal kepada presiden dan juga memastikan program itu bisa berjalan dengan baik untuk rakyatnya sesuai dengan visi beliau. Artinya, kita di Kementerian BUMN harus bekerja lebih keras lagi untuk profesionalisme dan transparan,” jelas Erick.
Baca juga: Erick Thohir Lanjutkan ‘Bersih-bersih’ BUMN Jilid Dua
Sementara, Tiko – panggilan akrab Kartika Wirjoatmodjo yang juga kembali menempati posisi Wamen BUMN – menyinggung wacana pembentukan superholding BUMN. Ia mengklaim rencana ini masih terus dikaji bersama dengan para ahli. Tujuannya, agar BUMN menjadi satu entitas yang dikelola secara profesional hingga menjadi besar dan berskala internasional. Jika superholding ini terwujud, ia optimistis, BUMN Indonesia bisa lebih hebat dari Temasek di Singapura maupun Khazanah Nasional Berhad di Malaysia.
“Kita tahu di dunia ada seperti Temasek, Khazanah Berhad. Kita yakin BUMN akan bisa lebih hebat dari entitas-entitas ini di dunia yang lain,” tegas Tiko.
Wacana superholding BUMN belakangan Kembali menguat. Pemerintahan Prabowo kabarnya akan merombak Kementerian BUMN menjadi badan, langsung di bawah presiden. Setelah pelantikan Kabinet Merah Putih, wacana itu makin menunjukkan titik terang. Prabowo melantik Muliaman Darmansyah Hadad sebagai Kepala Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (Danatara). Badan baru ini digadang-gadang sebagai cikal bakal superholding BUMN.
Danatara akan berfokus pada pengelolaan asset pemerintah di kementerian. Aset-aset itu akan dikelola sekaligus di-leverage hingga valuasinya menjadi lebih besar. Meski begitu, terbentuknya superholding BUMN tampaknya masih membutuh kan waktu, termasuk juga menyiap kan regulasi atau undang-undangnya.
Terlepas dari itu, Kementerian BUMN di periode kedua Erick masih mempunyai banyak pekerjaan rumah (PR). Seperti diungkapkan Muhammad Yusuf Ateh, Plt Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), di The Asian Post BUMN Business Forum 2024, beberapa waktu lalu. Ateh menyebut, persoalan BUMN antara lain berupa penerapan manajemen risiko yang belum maksimal, management misbehavior, biaya tidak efisien (boros), kurangnya kompetensi, fraud, hingga ekspansi di luar core business.
Padahal, tantangan perusahaan pelat merah juga tak mudah. BUMN dituntut untuk menyeimbangkan tuntutan sebagai entitas bisnis yang mengejar profit dan agen pembangunan yang mengemban penugasan pemerintah. BUMN harus bisa men-delivery program strategis pemerintah sekaligus menghasilkan profit dan memberi kontribusi fiscal kepada negara. Selain itu, BUMN harus melakukan inovasi, termasuk hilirisasi dalam menghadapi tantangan global. Mengelola kepercayaan stakeholder juga makin menantang.
“Pengelolaan grup BUMN makin menantang. Pengambilan keputusan bisnis harus cepat dan tepat karena perubahan cepat sekali sehingga dinamis, agile, diperlukan oleh BUMN. Dan juga, karena sudah banyak holding dan subholding, tata kelola terintegrasi antara induk dan anak usaha harus dikelola,” kata Ateh.
BPKP menyarankan sejumlah langkah kunci (key steps) yang harus dilakukan terkait dengan penguatan tata kelola BUMN. Langkah ini mencakup penerapan good corporate governance (GCG) dan aksi korporasi. Dari sisi GCG, antara lain memastikan kecukupan dan kesesuaian kebijakan GRC dengan kondisi terkini, memastikan kepatuhan penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern terintegrasi pada induk dan anak perusahaan. Selanjutnya, memastikan organ perusahaan menjalankanperannya dengan optimal.
Lalu, penanaman budaya risiko sebagai bagian integral dalam proses bisnis dan pengambilan keputusan strategis. Terakhir, melakukan pemantauan kontinu atas relevansi dan kecukupan desain serta implementasi kebijakan GRC. Dari sisi aksi korpo rasi, memastikan kejelasan tujuan dan indikator keberhasilan aksi, memastikan aksi korporasi telah tertuang dalam perencanaan strategis perusahaan, memastikan persetujuan organ perusahaan telah didapat, serta memastikan adanya kebijakan dan kajian internal yang komprehensif.
Menurut Slamet Edy Purnomo, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tata kelola menjadi isu Utama di BUMN, terutama nonperbankan. Pengelolaan risk management dan strategi bisnisnya sering kali tidak fokus karena banyak penugasan yang kadang tak bisa dihindari.
Baca juga: BUMN dan Badan Gizi Berkolaborasi demi Akselerasi Swasembada PanganSlamet menegaskan, korporasi sebenarnya tidak semata-mata mengejar keuntungan, tapi menciptakan value. BUMN sendiri mempunyai peran sangat vital bagi ekonomi nasional.
“Kalau kita lihat posisi BUMN, asetnya Rp10,402 triliun, kemudian GDP Rp20.892 triliun dan APBN Rp3.325 triliun. Lalu, anggaran program prioritas nasional Rp10.398 triliun, sebetulnya semua program agenda pembangunan nasional itu mayoritas dikelola atau dilaksanakan oleh BUMN,” paparnya.
Namun, kondisi BUMN memang masih membutuhkan banyak perbaikan. Dari total 800 perusahaan pelat merah, termasuk anak dan cucu usaha, 96 persen setoran dividen hanya disumbang tujuh perusahaan. Sektor perbankan, telekomunikasi, dan pertambangan masih mendominasi.
Produktivitas BUMN secara keseluruhan juga masih terbilang rendah, dengan return on aset (ROA) hanya 3,05 persen pada 2022. Di 2029, ROA ditargetkan bisa tembus 3,9 persen. Selain itu, daya saing BUMN terbilang masih rendah bila diukur dari total asset turnover yang 0,3 persen. Rasio belanja modal BUMN terhadap PDB pun rendah, hanya 1,3 persen. Dari sisi creating shared value, baru 70 persen BUMN yang berhasil melakukannya.
Semua itu menjadi PR BUMN ke depan. Ditambah lagi, sejumlah perusahaan pelat merah tercatat masih merugi pada 2023 lalu. Meski begitu, secara keseluruhan sumbangan dividen BUMN mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir. Mengacu data Kementerian Keuangan, pada 2023, total dividen BUMN mencapai Rp82,06 triliun. (*) Ari Astriawan
The post 1.001 PR BUMN Era Prabowo-Gibran appeared first on Infobanknews.