UMKM, Good Agriculture Practice dan Asuransi Kegagalan Panen

3 weeks ago 6
ARTICLE AD BOX

Oleh Babay Parid Wazdi, Dirut Bank SUMUT dan Pemerhati UMKM

PETANI merupakan bagian terbesar dari kelompok UMKM. Usaha pertanian adalah usaha yang memiliki tingkat risiko yang paling tinggi jika dibandingkan dengan usaha lainya dalam kelompok UMKM. Untuk itu usaha pertanian dengan skala kecil atau UMKM mesti mendapatkan perlindungan dari pemerintah baik ketika gagal panen maupun ketika harga turun.

Dari sisi regulasi yang ada di Tanah Air, petani pada dasarnya mendapatkan perlindungan yang menyeluruh bukan hanya kerugian dari sisi kegagalan panen saja. Namun regulasinya juga mengatur hingga kepada masalah harga jual produk pertanian yang menguntungkan bagi petani. Semua ketentuan tersebut tertuang dalam UU No.19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani.

Undang-undang tersebut menjadi jaminan bahwa pada dasarnya kerangka kebijakan pada tahapan implementasinya akan bermuara kepada penciptaan lapangan perkerjaan baru, menjaga ketahanan pangan nasional, jaminan stabilitas harga yang menguntungkan petani, pemberdayaan petani, upaya swasembada pangan, hingga asuransi perlindungan kegagalan panen maupun harga.

Mengingat dalam praktiknya pada saat ini, kebutuhan pangan di Tanah Air banyak didatangkan dengan cara diimpor, petani belum terlindungi dari fluktuasi harga pasar yang merugikan, belum sepenuhnya terlindungi dari kegagalan panen. Yang mengakibatkan upaya untuk menjaga ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, hingga pengendalian inflasi menghadapi tantangan besar.

Dalam tulisan kali ini, penulis akan lebih menitik-beratkan pada upaya perlindungan kepada petani dengan asuransi kegagalan panen. Serta sejumlah rekomendasi kebijakan yang bisa diterapkan untuk mewujudkan agar petani bisa terlindungi dengan asuransi, serta menjadi kegiatan yang menguntungkan bagi perusahaan asuransi itu sendiri.

Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Reputasi

Penulis menemukan implementasi penerapan asuransi kegagalan panen yang kerap masih dibawah dari target pemerintah. Dimulai dengan minimnya partisipasi petani yang berasuransi, ditambah dengan besarnya potensi kegagalan panen yang diakibatkan oleh gangguan cuaca ekstrem.

Karena perusahaan asuransi sebagai entitas usaha yang berorientasi pada keuntungan, tentunya bisa saja akan lebih selektif dalam memilih lahan pertanian milik petani yang akan diasuransikan. Seiring dengan perubahan iklim dan kian sering terbentuknya cuaca ekstrim, kegagalan panen memang berpotensi lebih sering terjadi. Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah.

Langkah pertama, pada pasal 16 UU No 19 Tahun 2013 menyebutkan bahwa pemerintah baik pusat dan daerah sesuai kewenangannya bertanggung jawab menyediakan dan/atau mengelola prasrana pertanian. Yang meliputi infratruktur jalan, bendungan, irigasi, dam, embung, kelistirikan, pelabuhan, pergudangan dan pasar.

Ketersediaan infrastruktur yang harus disediakan pemerintah tersebut tentunya akan menurunkan risiko kegagalan panen. Seperti pengarian atau irigasi persawahan yang akan menjamin ketersediaan air setiap waktu. Yang bila mampu dipenuhi setiap tahunnya maka potensi kegagalan panen akan diminimalisir. Jaminan ketersediaan irigasi ini tentunya akan membuat skor asuransi petani bisa dinaikkan.

Dalam tahap pertama ini, pemerintah memang diwajibkan untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur dasar pertanian. Sehingga lahan pertanian yang diasuransikan luasnya bisa ditingkatkan lagi. Sehingga bisa mendorong minat perusahaan asuransi untuk lebih banyak mendorong agar lahan pertanian bisa diasuransikan.

Mengapa ketersediaan infrastruktur dasar pertanian tersebut sangat penting?. Karena selain dapat menjamin lahan tersebut untuk tetap produktif, ketersediaan infrastruktur dasar juga bisa memacu perusahaan asuransi lainnya untuk menyalurkan produk perlindungan atau asuransi. Di sisi lain, disaat ketersediaan infrastruktur tidak memadai, maka skor asuransi bisa sangat buruk yang membuat perusahaan asuransi enggan untuk memberikan perlindungannya.

Sehingga dalam langkah pertama ini, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan petani. Yang tertuang dalam pasal 15 UU No 19 tahun 2013. Implementasi dari aturan tersebut memang membutuhkan dukungan kebijakan yang sifatnya sangat politis di pemerintah. Serta keberpihakan alokasi kebijakan anggaran dalam APBN.

Langkah kedua, UU No 19 tahun 2013 juga memberikan perlindungan kepada petani. Khususnya dalam bentuk kewajiban bagi pemerintah dan pemerintah daerah yang tertuang dalam pasal 35. Di mana pemerintah wajib melakukan prakiraan iklim untuk mengantisipasi terjadinya gagal panen. Di ayat yang kedua pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib mengantisipasi kegagalan panen.

Poin selanjutnya dalam ayat kedua tersebut adalah upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau penyakit hewan menular. Dan upaya penanganan terhadap hasil prakiraan iklim dan peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah penyakit hewan menular.

Dalam langkah kedua ini, pemerintah bisa berkerja sama dengan BMKG (badan metereologi klimatologi dan geofisika) untuk memperkirakan kondisi iklim dalam suatu periode waktu yang akan datang. Misalkan, puncak el nino diperkirakan akan menghantam suatu wilayah di periode 3 bulan yang akan datang. Sehingga muncul sistem peringatan dini yang bisa memberikan saran kepada petani baik untuk menanam tanaman yang lebih sesuai dengan iklim yang berkembang. Atau  memberikan saran untuk tidak menanam tanaman apapun sementara waktu guna menghindari potensi gagal panen.

Namun seperti yang kita tahu, dalam satu tahun berjalan selalu ada musim tanam maupun panen yang didukung dengan cuaca yang bagus, serta sebagian justru cuacanya tidak mendukung. Dalam konteks ini dibutuhkan produk asuransi yang memungkinkan melindungi kegagalan panen dalam periode satu kali tanam saja. Terlebih untuk lahan pertanian yang tidak didukung dengan ketersediaan infrastruktur yang mumpuni.

Karena bisa saja lahan pertanian yang di-cover asuransi dalam kurun waktu satu tahun menjadi sangat berisiko mengalami gagal panen. Maka dibutuhkan kebijakan untuk membuat produk asuransi yang memiliki waktu perlindungan yang lebih fleksibel, yang bisa melindungi petani dari awal masa tanam hingga selesai panen.

Selanjutnya, bagaimana jika lahan pertanian tersebut justru mampu bertahan dari gangguan cuaca ekstrim karena berada pada letak geografis yang menguntungkan, hingga tersedia segala bentuk kebutuhan dasar untuk bercocok tanam seperti infrastruktur hingga pengairan. Sehingga petani menilai bahwa asuransi menjadi tidak menguntungkan. Maka kita membutuhkan langkah ketiga.

Dimana langkah ketiga ini kita harus memetakan semua potensi lahan pertanian dengan memberikan penilaian berupa skor asuransi atau kelayakan. Skor asuransi ini akan lebih mencerminkan bagaimana tata kelola pertanian (good agriculture practice) dilakukan, dan diberikan penilaian. Skor asuransi ini isinya meliputi pengalaman petani, letak gegografis lahan, ketersediaan infrastruktur dasar, kemudahan akses pupuk dan pestisida, kemampuan bertahan dari gangguan cuaca ekstrem, konsistensi pola tanam, hingga hal lain seperti kemampuan petani dalam menghadapi serangan hama dan penyakit.

Baca juga: Pertahanan 3 Lapis dalam Pengelolaan UMKM

Untuk apa skoring tersebut dilakukan? agar kita bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan petani, supaya lahan pertaniannya mampu bertahan dalam jangka panjang (sustainable). Dan kita bisa memberikan rekomendasi kepada pihak asuransi agar menciptakan produk asuransi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan petani. Pemerintah bisa melakukan upaya perbaikan lahan pertanian jika skor asuransinya rendah, sementara perusahaan asuransi bisa melakukan penyesuaian risiko yang bisa diambil mengacu kepada skoring tersebut.

Bukan tidak memungkinkan perusahaan asuransi akan mengenakan premi yang lebih bagi lahan pertanian yang memiliki skor asuransi yang rendah. Di sisi lain, pemerintah juga bisa dengan mudah memberikan bantuan subsidi premi yang disesuaikan dengan skor asuransi tersebut. Seraya memperbaiki masalah fundamental agar skor asuransi petani membaik nilainya.

Dan semua lahan pertanian wajib diasuransikan, baik yang memiliki skor tinggi maupun yang rendah. Dan asuransi kegagalan panen ini sebaiknya dijadikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan alokasi pupuk bersubsdi atau program pendukung yang dilakukan pemerintah. Agar supaya semua petani mengasuransikan lahannya tanpa terkecuali.

Selanjutnya, petani harus diedukasi bahwa asuransi ini bukan hanya melindungi dari kegagalan panen saja. Tetapi sebagai bentuk gotong royong untuk melindungi petani di Tanah Air dari sejumlah risiko yang bisa memicu terjadinya gagal panen.

Akhir kata, mencintai UMKM itu berkah dan mulia.

The post UMKM, Good Agriculture Practice dan Asuransi Kegagalan Panen appeared first on Infobanknews.

Read Entire Article