Kabinet “Obesitas”: Semoga Mampu Tutup Kebocoran yang Capai 60-70 Persen dan Mampu Ciptakan Lapangan Kerja

2 weeks ago 5
ARTICLE AD BOX

Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank

SUSUNAN Kabinet Prabowo-Gibran sudah diumumkan. Nama-nama lama masih bertebaran, khususnya di tim Ekonomi. Ada yang menyebut susunan Kabinet Merah Putih masih “berbau” Jokowi. Ada perwakilan partai, profesional dan para pendukung atau tim “hore” pemenangan Prabowo-Gibran. Juga, banyak nama-nama yang sebelumnya duduk di Kabinet Jokowi-Ma’ruf.

Namun yang pasti jumlah kabinet yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto gemuk, atau “gemoy” dan cenderung “obesitas”. Bahkan, jumlah Kabinet Merah Putih ini terbanyak di Asia Pacific, bahkan bisa jadi terbanyak di dunia dengan jumlah menteri dan wakil menteri mencapai 105. Menurut data Biro Riset Infobank, rata-rata jumlah menteri di Negara Asia Pacific sebanyak 22 menteri saja.

Tulisan ini tidak mengulas soal mengapa dan siapa yang duduk sebagai menteri dan wakil menteri. Bahkan, cenderung tidak peduli siapa pun menteri dan jumlahnya. Terserah. Hak prerogratif presiden. Apalagi, sejarah menunjukan, berapa dan siapanpun menterinya, toh pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah di tangan sebesar 5 persen. Itu karena ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh naik turunnya harga komoditas.

Naik turunnya ekonomi Indonesia mirroring dengan harga komoditas. Jika harga komoditas naik, maka ekonomi Indonesia akan baik-baik saja. Itulah kenapa penulis sering menyebut Indonesia selalu disayang oleh Tuhan. Tidak perlu bersusah payah untuk tumbuh 5 persen. Alhamdulilah, karena sering mendapatkan berkah rejeki harga komoditas di pasar dunia.

Ini tak lain modal yang digenggam Presiden Prabowo-Gibran. Modal itu, satu, pertumbuhhan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir konstan berkisar 5 persen, meski jumlah utang semakin meningkat hingga Rp8.300 triliun. Padahal, utang (APBN) merupakan salah satu sumber pendorong pertumbuhan ekonomi.

Dua, inflasi terkendali di kisaran rata-rata inflasi selama 10 tahun terakhir sebesar 3,79 persen (termasuk periode Pandemi COVID-19). Lebih rendah dibandingkan Mexico, India, Afrika Selatan dan Brasil apalagi Argentina. Tapi lebih tinggi dari Thailand, China, Malaysia, Vietnam dan Philipina selama 10 tahun terkahir ini.

Tiga, memontum masuk ke dalam upper-middle incpme country. Tahun 2019 Indonesia berhasil masih ke dalam kelompok menengah rendah (lower-middle income). Tiga, menurut data BPS tingkat kemiskinan turun 2,22 persen dan kemiskinan absolut ekstrem turun 5,35 persen. Jika itu menggunakan pendekatan pendapatan USD1,9, namun jika menggunakan pendekatan baru World Bank yang USD3. Model perhitungan garus kemiskinan oleh Bank Dunia, melalui ukuran paritas daya beli atau purchashing power parity (PPP).

Jika memakai perhitungan Bank Dunia maka jumlah orang miskin di Indonesia akan mencapai 40 persen. Tapi, saat ini, pemerintah masih lebih happy dengan pendekatan USD1,9, dan bukan USD3. Itu bisa jadi agar tampak jumlah orang miskin di Indonesia menurun. Padahal, fakta di lapangan juga makin banyak kemiskinan.

Empat, neraca perdagangan konsisten surplus, dan cadangan devisa terus meningkat bahkan terbesar dalam sejarah republik Indonesia mencapai USD150,2 miliar, atau setara 6-7 impor. Sementara lima tahun terkahir ini terjadi surplus neraca perdagangan, dan mencapai puncak pada tahun 2022 karena peningkatan harga komoditas. Lima, investasi asing (FDI) terus dikabarkan meningkat.

Pemerintahan Prabowo-Gibran dengan jumlah menteri yang “obesitas”, gemuk dan tentu boros anggaran. Pidato pelantikan Prabowo sangatlah heroik untuk melihat Indonesia yang lebih baik.

Simak penggalan pidato Prabowo Subianto saat pelantikan,”Kita harus menghadapi kenyataan bahwa masih terlalu banyak kebocoran penyelewengan korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita, cucu-cucu kita,” tegas Prabowo.

Tidak efisiennya ekonomi bisa dilihat dari Icremental Capital Output Ratio (ICOR) yang menurut data yang diolah Biro Riset Infobank mencapai 6,9 di tahun 2023. Pada tahun 2000-2024 mencapai 5,7. Dari tahun ke tahun ICOR terus naik. Artinya, semakin tinggi ICOR semakin buruk, dan tidak efisien atawa diterjemahkan terjadi kebocoran.

Jika dibandingkan dengan Singapura yang ICOR-nya 3-4, dan Malaysia pada kisaran 4-5, maka ICOR di Indonesia lebih tinggi. Nah, jika membandingkan SIngapura, atau ideal ICOR pada angka 3-4, maka di Indonesia telah terjadi kebocoran mencapai 60-70 persen. Ini mengerikan sekali. Tidak efisin dan bocor kemana-mana.

Nah, tingkat ICOR sebesar itu jika dikaitkan dengan APBN yang mencapai Rp3.121 triliiun, maka telah terjadi ketidakefisienan atau bisa dibilang kebocoran 70 persen, maka duit-duit APBN yang mubazir sebesar Rp2.250 triliun. Jika ICOR bisa ditekan, maka efisiensi ekonomi akan terjadi. Kenyataan inilah yang akan dihadapi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Kebocoran besar itulah yang harus ditutup oleh Pemerintah dan tentu oleh para menteri.

Entah kerena itu pulah terjadi deindustrialisasi dini. Jujur, deindustrialiasasi dini sudah terjadi sejak tahun 2001. Selama 10 tahun terkahir ini, pertumbuhan industri manufakatur selalu di bawah pertumbuhan ekonomi, sehingga kontribusi sektor manufaktur terus menurun, pada tahun 2023 kontribusinya hanya 18,67 persen.

Juga, penurunan produksi pangan atau beras terjadi penurunan. Sepanjang tahun 2018-2023, luas panen padi turun rata-rata 0,2 juta Ha per tahun, menurut data BPS, produksi padi turun 1 juta per tahun. Jadi, peluang impor makin hari makin besar.

Hal yang tak kalah merindingnya adalah utang pemerintah. Menurut catatan Biro Riset Infobank, jumlah utang RI Rp.8.338 triliun. Sementara utang jatuh tempo tahun 2025 mencapai Rp800,33 triliun, naik nyaris 2 kali yang sebesar Rp434,29 triliun. Sedangkan Tahun 2024 ini beban APBN untuk membayar bunga utang Rp434,29 triliun. Jika defisit diperlebar 2,45-2,82 persen, beban bunga utang bisa tembus Rp600 triliun. Bisa jadi besarnya beban bunga di tengah situasi global dengan suku bunga tinggi dan inflasi inilah yang menjadi perhatian Sri Mulyani Indrawati. 

Jika melihat besarnya penerbitan Surat Utang Negara – yang dikaitkan dengan jumlah utang jatuh tempo, dan bunga pinjaman dapat dipastikan bahwa untuk membayar dengan cara menerbitkan utang baru. Gali lubang tutup lubang. Hal ini tak menjadi masalah jika ada stabilitas, misalnya pembeli SUN. Tapi, hal itu juga perlu diperhatikan mengenai besarnya yield yang tentu lebih berat.

Simak. Pada tahun 2019, porsi pembayaran bunga utang pemerintah Rp275,5 triliun. Jumlah meningkat menjadi Rp314 triliun pada 2020, naik menjadi Rp 343,4 triliun pada 2021, meningkat ke Rp386,3 triliun pada 2022 dan diperkirakan melonjak menjadi Rp434,29 triliun di tahun ini. Beban berat.

Dan, yang paling penting, Prabowo harus mewujudkan pertumbuhan 8 persen dengan kualitas yang lebih baik. Selama ini pertumbuhan hanya kisaran 5 persen dan tidak sesuai janji Jokowi 7 persen, dan sekarang target pertumbuhan 8 persen di zaman Prabowo-Gibran. Itu diperlukan untuk menyerap tenaga kerja. Generasi Gen Z makin sulit mencari kerja selama lima tahhun terkahir ini. Bahkan, sering mendengar terjadi PHK dan tentunya penurunan daya beli masyarakat.

Menurut data Biro Riset Infobank, periode tahun 2009-2014, serapan tenaga kerja mencapai 15,36 juta. Periode 2014-2019 terjadi penurunan hingga menjadi 11,23 juta, dan menurun drastis pada periode 2019-2023 hingga menjadi 3,66 juta. Lebih ngeri lagi, terjadi dominasi pekerja informal menjadi 12,18 juta.

“Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah,” kata Prabowo dalam penggalan lain pidato saat pelantikan.

Siapa pun dan berapa pun jumlah menterinya, seberapa besar obesitasnya kabinet, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab pemerintahan Prabowo-Gibran ini. Soal bagaimana menutup kebocoran, menaikan daya beli, dan paling penting mampu menciptakan lapangan kerja bagi Generasi Gen Z yang mulai sulitnya pekerjaan.

Jika mendengar isi pidato Prabowo kita yakin dan sangat optimis tentang Indonesia lima tahun ke depan. Namun nasehat guru SD saya, setiap optimisme yang tinggi, selalu disiapkan untuk kecewa jika tidak terlaksana.

Selamat bekerja Kabinet Merah Putih. Semoga Indonesia tetap disayang Tuhan, karena tanpa melihat jumlah menteri pun bisa otomatis tumbuh 5 persen. (*)

The post Kabinet “Obesitas”: Semoga Mampu Tutup Kebocoran yang Capai 60-70 Persen dan Mampu Ciptakan Lapangan Kerja appeared first on Infobanknews.

Read Entire Article